Cerita Kakek : “Silih- Silih Kambing”

“Apa bedanya anjing dengan kambing?” tanya kakek saya kepada saya saat dia memulai ceritanya tentang kambing sebagai cerita pengantar tidur cucu kesayangannya.  Saya menjawab pertanyaan gampangnya itu sambil tersenyum: “Anjing menggonggong, kambing mengembik.  Anjing menggigit, kambing menanduk.”  Selanjutnya kakek saya memulai ceritanya tentang anjing dan kambing, dua sahabat setia yang terputus gara-gara tanduk, sampai saya tertidur, kakek mengakhiri ceritanya dengan pesan moral: “Silih-silih kambing, yang artinya meminjam tapi tidak mengembalikan, seperti kambing yang meminjam tanduk anjing dan tidak sudi mengembaikannya, bahkan mau menanduknya saat ditagih oleh anjing.”

Pesan moral ini sangat melekat di masyarakat Bali, agar tidak seperti kambing.  Begini ceritanya, seperti yang diceritakan kakek, saat saya dikeloni kakek menuju alam mimpi di malam hari, tapi ada satu syarat untuk bisa mendengar ceritanya, yaitu saya harus mencuci kaki dan membasuh muka dulu sebelum tidur, agar bersih, tidak seperti kambing.  Selanjutnya kakek mulai bercerita dalam keremangan lampu templok, sehingga menghanyutkan imajinasi saya ke alam perkambingan.

Dulu anjing dan kambing adalah dua sahabat kental, seperti bersaudara, hidup rukun, saling membantu dan toleransi.  Dulu anjing memiliki tanduk seperti kambing sekarang, sebaliknya kambing tidak bertanduk seperti anjing sekarang.  Kambing ingin sekali mencoba memakai tanduk anjing dengan meminjamnya, dan keinginan itu disampaikannya dari hati ke hati sebagai sahabat yang merasa bersaudara.

“Untuk apa kamu ingin meminjam tandukku,” tanya anjing serius, seolah takut tanduknya dipakai untuk bergaya.

“Tanduk itu sangat penting kupinjam untuk membela diri dan keluargaku, karena ada ancaman serigala yang setiap malam mengintip ingin menyantap keluargaku,” jawab kambing memelas.  Kalau keluargamu sih aman-aman saja, soalnya kamu masih bisa menggigit, walau tanpa tanduk.  Kalau keluargaku pastilah bisa mati tercabik-cabik semalam disantap oleh serigala.  Beginilah nasibku, bakal bisa mati sekarat jika tidak dikasih pinjam tanduk sebagai senjata pengusir serigala.

“Berilah aku pinjam tandukmu barang seminggu saja, minggu depan, setelah serigala kapok mengintipku malam-malam, dia akan lari menjauh dari tempatku berteduh, pastilah tanduk itu akan aku kembalikan,” kata serigala tambah memelas sambil menitikkan air mata.  Anjing merasa sedih mendengar cerita kambing yang diteror setiap malam oleh serigala.  Dengan hati tulus ingin membantu dan menyelesaikan masalah sahabatnya, anjing mencopot tanduknya dan memasangkannya ke kepala kambing sehingga bisa digunakan sebagai senjata pamungkas melawan teror serigala yang menakutkan.

“Tapi ingat, tolong kembalikan minggu depan ya, sesuai janjimu, setelah serigala tidak  menerormu lagi, kembalikan tanduk itu, karena tanduk itu adalah warisan leluhur, aku pinjamkan tanduk ini dengan ikhlas, tanpa surat perjanjian notaris, atau surat pinjaman bermeterai, aku membantumu karena persahabatan, tapi ingat mengembalikannya ya, minggu depan,” anjing berpesan sambil memeluk erat sahabatnya, dan mendoakannya agar dia sukses menghalau serigala dengan tanduk pinjamannya.

“Jangan khawatir sahabatku, kita berteman dari jaman nol, tidak mungkin persahabatan putus gara-gara tanduk, persahabatan adalah harga mati, tidak boleh putus sampai akhir jaman.  Tanduk akan ku serahkan minggu depan,” jawab kambing meyakinkan.

Seminggu kemudian kambing selalu menghindar, mogok bicara, pura-pura tidak kenal dengan anjing.  Saat anjing menagih tanduknya, kambing selalu melengos dan cuek bebek.  Kambing merasa gagah dengan tanduk pinjamannya, dia tidak mau mengembalikannya kepada anjing.  Anjing selalu ingat akan tanduknya saat melihat kambing dan menggonggongnya, begini arti gonggongannya, kata kakek dengan suara anjing yang berat:

“Kembalikan tandukku Mbing, jangan gitu dong sama temen!”

Dengan santai kambing mengembik-embik sambil berlari ngumpet.  Begini arti embikannya, kata kakek menirukan suara kambing melengking seperti kambing yang lehernya terjepit pintu:

“Ini kan tandukku, bukan tandukmu, aku tidak pernah meminjam, enak aja loh,” kata kambing lari terbirit-birit.

Berkali-kali kakek menekankan nasihat tersebut sebagai “jangan seperti kambing, silih-silih kambing, ingat meminjam, lupa mengembalikan.”  Kakek dengan lucunya menirukan suara gonggongan anjing yang besar dan bergema, seperti raksasa batuk, dan menirukan suara kambing yang terbitrit mengembik-embik, seperti suara kambing congek radang tenggorokan.  Saya pun tertawa lepas, cekikikan, lucu, mendengar suara kakek menggonggong dan mengembik-embik, yang dilakukannya berulang-ulang di akhir cerita, sampai saya tertidur pulas mengulum senyum.

Terima kasih kakek, yang sekarang dia terseyum di alam sana.  Cerita ini saya tulis sambil mengenang keakraban saya dan kakek di masa lalu, di saat belum ada TV dan youtube konten anak-anak seperti jaman sekarang.   Dan sayapun disadarkan oleh cerita kakek, bahwa sekarang saya juga sudah menjadi kakek (kakek gaul jaman now) yang akan menceritakan kembali cerita kakek saya kepada cucu-cucu saya, tentang kearifan lokal yang mulai tergerus jaman, agar cucu saya jangan seperti kambing, jangan silih-silih kambing.

 

 

Tinggalkan Balasan