Jamu adalah produk dan aktivitas budaya nusantara berdasarkan penggunaan tanaman rempah dan obat yang diramu untuk menjaga stamina, menyembuhkan penyakit, mempercepat penyembuhan, memelihara kecantikan, vitalitas, semangat hidup dan bekerja. Istilah jamu hanya ada di bumi nusantara, dari bahasa Jawa, yang diakronimkan dengan Jampi (doa/ mantra) dan usada (pengobatan), yaitu gabungan antara doa, harapan Si Pembuat jamu dan bahan jamu, yang memberikan kesembuhan/ kebugaran dan semangat hidup. Budaya meramu dan minum jamu tertulis dalam lontar pengobatan dan kitab-kitab kuno pengobatan, terpahat di dinding-candi Borobudur, dituturkan dari mulut ke mulut oleh orang tua kepada anak-cucunya, selanjutnya dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari untuk pengobatan dan penyembuhan oleh masyarakat.
Dunia industri melihat peluang budaya minum jamu sebagai lahan bisnis, menciptakan lapangan kerja dan memutar roda ekonomi. Dalam perjalanannya di jaman modern, obat-obat kimia menggeser budaya minum jamu secara perlahan dengan budaya baru, minum energay drink, minuman berkafein penyemangat, obat penenang dan penahan rasa sakit, antibiotika, anti virus, penambah nafsu makan, penurun kolesterol, penurun tekanan darah, dan obat-obat kimia lainnya. Hanya butuh beberapa generasi, jika budaya jamu tidak diingatkan dan tidak dipraktikkan, maka generasi baru akan melupakannya, mereka bingung mencari obat yang dulu sudah ada dan sekarang masih tumbuh di ladang secara liar, tapi nama dan cara menggunakannya sudah dilupakan. Untung virus Covid 19 datang mengingatkan generasi muda dan juga praktisi pengobatan, bahwa jamu adalah harta karun yang harus lebih banyak digali dan dimanfaatkan untuk kesehatan, karena alami dan nilai pengobatannya yang tinggi.
Lagu “Suwe Ora Jamu” didendangkan orang tua saat mengasuh atau menidurkan anaknya masih terngiang dan akan dinyanyikan lagi oleh anaknya dan anaknya lagi yang akan beranak-pinak. Lagu tersebut berirama sama dari bait ke satu sampai bait ke tiga, yang artinya secara gampang demikian: “Lama tidak bertemu, bertemu sekali bikin kecewa; lama tidak bertemu, bertemu sekali hati senang; lama tidak bertemu, bertemu sekali bertambah pintar.”
Lama tidak bertemu itu maksudnya lama tidak minum jamu (suwe ora jamu), karena saking lamanya, masyarakat jadi lupa, hati pembuat dan peminum jamu jadi kecewa. Kenapa hatinya jadi kecewa? Karena tidak sesuai harapan, kurang informasi dan teknologi jamu, daya saing dan kualitas jamu yang rendah, yang tidak sesuai dengan permintaan dan harapan pasar. Selanjutnya, dengan pertemuan menjadi sering, budaya minum jamu dihidupkan lagi, maka hatinya jadi senang dan bertambah pintar. Hati yang senang didapatkan karena kesehatan, keuntungan dan kebahagiaan dari minum jamu. Kepintaran yang dimaksud adalah penguasaan terhadap ilmu, manajemen dan teknologi jamu yang sudah dipraktikkan oleh generasi muda untuk memajukan bangsa dan negaranya, bahkan juga ikut berkontribusi terhadap kesejahteraan, kesehatan, dan perekonomian dunia.
Lagu suwe ora jamu memiliki filosofi yang sangat dalam, agar pertemuan (silaturahmi) di antara masyarakat harus terus ditingkatkan, agar semakin erat dan rukun, karena jika jarang bertemu bisa membuat hati kecewa. Pertemuan juga berarti menghidupkan kembali budaya minum jamu, bangga dengan jamu dan hidup sejahtera dengan jamu.