George termenung setelah melihat karcis bis yang bertuliskan :”Kerinduan, impian dan fokus menggerakkan bismu pada arah yang tepat.” George membaca tulisan itu berulang-ulang kali, sepertinya orang yang sedang menghafal puisi untuk dipentaskan besok pagi. Ada empat kata kunci yang dia hafal, yaitu: rindu, mimpi dan fokus pada tujuan. “Apakah selama ini aku tidak memiliki rindu, mimpi, fokus dan tujuan?” gumamnya dalam hati. Dulu, sewaktu aku mulai bekerja, sewaktu muda, aku memiliki kerinduan untuk mewujudkan cita-cita, ingin memiliki keluarga, anak, istri yang baik, memiliki rumah dan mobil, membangun karier dalam bekerja sebagai kepala pemasaran, dan semuanya sudah terwujud. Selama beberapa tahun belakangan, setelah anak-anak bersekolah dan tumbuh menjadi besar, aku nyaris tidak memiliki kerinduan, mimpi dan fokus dalam bekerja. Aku bekerja karena rutinitas, untuk mendapatkan gaji, untuk membayar biaya hidup diri dan keluarga, mimpiku yang baru sudah hilang ditelan rutinitas dan kejenuhan bekerja. Aku tidak bisa fokus pada kerja dan peningkatan potensi diri. Aku sering emosi, terutama saat tidak punya uang di tanggal tua, pengeluaranku selalu lebih besar daripada pemasukan. Kantongku bolong, berapapun uang masuk ke kantong selalu habis. Mimpi menakutkan sering mengganggu tidurku. Terus terang, sebagai supir bis, aku tidak tahu arah tujuan mau kemana, aku tidak memiliki kerinduan, impian mau kemana menuju. Aku kehilangan arah. Aku bingung,” gumamnya dalam hati di tengah bunyi mesin bis dan kendaraan lain di jalan.
“Fokus pada tujuanmu bro…!,” jangan meleng, kalau tidak fokus kamu bisa tersesat ke tempat yang salah, atau kamu bisa menabrak atau ditabrak mobil. George tersadar dengan celetukan supir bis yang bergaya santai. Tapi itu yang benar, nasihatnya sangat sederhana dan mengena, walau cukup menyengat pedas seperti sambal geprek level sepuluh. Terus terang, tujuanku bekerja hanya untuk bisa digaji saja, untuk membayar tagihan dan biaya hidup. Nyaris tanpa mimpi, tanpa cita-cita. Sedangkan aku bekerja di perusahaan cukup besar. Aku bekerja kurang maksimal, kurang masa depan yang lebih baik, kurang kreatif, dan kurang cita-cita. Aku merasa bukan menjadi supir bis, tapi sebagai penumpang bis yang suka melamun, yang suka ngedumel, mengeluh dan menggerutu. Aku ibarat penumpang gelap yang hanya memberatkan bis dan menyesakkan tempat duduk penumpang. Aku tidak punya tujuan,” gumam George dalam hati sambil memegang keningnya karena pusing. “Untung aku tidak mati di tengah jalan, seperti orang lain yang kebanyakan mati di hari senin, karena tegang dan bingung dalam bekerja,” gumamnya dalam hati.
George turun dari bisnya, dia berjalan menegapkan langkahnya ke tempat kerja. Langkahnya berjalan yang sebelumnya gontai menunduk lemah seperti orang mencari-cari duit jatuh, sekarang jalannya lebih tegap menuju kantornya yang letaknya tidak jauh dari halte bis. “Aku harus fokus mewujudkan tujuanku, mengembangkan usaha, membesarkan perusahaan, meningkatkan prestasi kerja, memberikan pelayanan yang terbaik kepada konsumen, dan membangun rumah tangga yang lebih baik, lebih berkualitas. Aku harus selalu fokus dalam bekerja dan menjalani hidup setiap saat, atau aku bisa mati sia-sia di tengah jalan, seperti anjing berlari yang kehilangan arah di tengah jalan, yang berujung kepalanya pecah dilindas ban mobil. Fokus….! Fokus….! Fokus….! Gumamnya dalam hati. Dia mengafirmasi diri. Nasihat fokus itu ditulis oleh Jon Gordon dalam bukunya “The Energy Bus,” bahwa setiap supir bis harus fokus pada tujuan.