Dua ribu tahun yang silam, ada seorang raja di India, dari kerajaan Ujayini, namanya Bhartrihari, yang sangat pandai memimpin negerinya. Bhartrihari memiliki seorang permaisuri dan seorang selir yang sangat cantik. Karena kemasyuran, kebaikan dan kepintarannya, Raja Bhartrihari diberikan hadiah tirta (air) amerta dari seorang Resi/ guru, yaitu air yang bisa menyebabkan sehat dan awet muda. Raja Bhartrihari menerima hadiah tirta Amerta dengan senang hati. Selanjutnya, karena cintanya Raja Bhartrihari kepada selirnya yang cantik, Tirta amerta dihadiahkan kepada selirnya agar selirnya tetap cantik dan awet muda. Di luar sepengetahuan Raja Bhartrihari, ternyata selirnya telah memiliki pemuda simpanan (berondong), selanjutnya selir raja menghadiahkan Tirta Amerta kepada pemuda simpanannya. Pemuda simpanannya itu ternyata juga memiliki pacar seorang lonte cantik, maka tirta amerta dihadiahkan lagi kepada Si Lonte cantik. Sebagai seorang lonte yang merasa dirinya tidak berhak dan merasa malu harus menanggung derita sebagai lonte, maka tirta amerta tersebut dihadiahkan lagi kepada raja Bhartrihari, sebagai wujud cinta seorang rakyat kepada rajanya yang bijak. Betapa terkejutnya Raja Bhartrihari mendapatkan hadiah dan mendengar kisah perjalanan hadiah tirta amerta tersebut karena selir cantik yang dicintainya tersebut menghianati cintanya. Selanjutnya Raja Bhartrihari memutuskan untuk berhenti menjadi raja dan menyerahkan kerajaannya kepada adiknya. Raja Bhartrihari pergi bertapa ke hutan dan menulis buku, dan salah satu bukunya yang terkenal adalah Niti Sataka (Seratus sloka tentang etika dan moralitas).
Bhartrihari mengajarkan pemimpin dengan membentuk sikap mental positif yang harus dimiliki oleh pemimpin, yaitu: bekerja keras, tekun, sabar, rendah hati, jujur, hemat murah hati, selalu berbuat baik, serta memiliki keberanian. Petuah Bhartrihari merupakan tuntunan etika dan moralitas kepada setiap orang agar bisa menjadi pribadi yang baik, dan juga menjadi pemimpin yang baik. Seorang pemimpin akan hancur karena penasehatnya yang tidak baik. Penasihat pemimpin bisa sebagai seorang ahli yang bertugas menasihati pemimpin tetapi dia memiliki karakter yang lemah sebagai penasihat pemimpin, bisa juga penasihat sebagai seorang istri atau selir yang memiliki sifat kurang baik, sehingga bisa menghancurkan pemimpin.
Seorang pemimpin harus mencintai rakyatnya. Secara tegas Bhartrihari mengatakan, “wahai para pemimpin Negara, bila ingin memperoleh kemakmuran rakyat, cintailah rakyat, seperti halnya jika seseorang ingin mendapatkan susu dari sapi, maka ia memelihara anak sapi tersebut dengan baik. Bilamana para pemimpin memperhatikan kesejahteraan rakyat, ibu pertiwi akan selalu memenuhi keinginannya bagaikan pohon kalpataru.” Mencintai rakyat dalam bahasa modern disebut dengan pro rakyat. Mencintai rakyat berarti mengutamakan kesejahteraan rakyat, membangun bersama dan untuk rakyat, mendahulukan kepentingan umum dan kesejahteraan rakyat. Himabauan Bhartrihari agar pemimpin mencintai rakyat terlihat jadul, tapi memang itulah tugas utama pemimpin. Dalam banyak visi misi calon pemimpin rakyat sebagai anggota DPR, bupati, gubernur atau presiden, barulah mereka teringat akan pesan Bhartrihari di saat pemilihan umum, pemimpin haruslah mencintai rakyat bila ingin negaranya makmur. Akan tetapi, setelah terpilih, mereka lupa mencintai rakyatnya, dengan cara melupakan tugasnya sebagai pemimpin dengan korupsi, kolusi dan nepotisme.
Lebih lanjut Bhratrihari menegaskan, “apabila pemimpin tidak bisa memerintah, tidak mampu menyebarkan kebaikan, tidak mampu melindungi rakyat dan mengabaikan mereka, tidak memberikan sumbangan kepada kaum intelektual dan yang membutuhkan, tidak mampu memanfaatkan kekayaan dengan baik, dan tidak mampu melindungi para sahabat akrab, bila keenam sifat tersebut tidak dimiliki, maka tidak ada gunanya meminta perlindungan dan bantuan dari pemimpin tersebut.” Ciri-ciri pemimpin yang tidak mampu itu sudah dijelaskan dengan gamblang. Kepada pemimpin yang tidak mampu, atau tidak memiliki kemampuan tersebut sebenarnya sudah tidak berguna lagi untuk memimpin, artinya segera harus ditinggalkan oleh rakyatnya. Tentu jika pemimpin tersebut sudah memiliki dan menunjukkan kemampuannya, maka dia perlu dipilih lagi untuk memimpin. Dalam banyak kasus, kepemimpinan pemimpin periode kedua, yang selalu dipermanis dengan slogan “lanjutkan”, dan juga dibungkus dengan kemasan bantuan sosial, serta iming-iming pemimpin murah hati (yang sebenarnya memang tugas pemimpin itu harus murah hati), menghasilkan kepemimpinan periode kedua bisa berjalan mulus. Kenyataannya yang didapatkan oleh rakyat adalah, justru di kepemimpinan periode kedua tersebut terjadi pemerkosaan hak-hak rakyat, korupsi, kolusi dan nepotisme semakin merajalela, dan diakhiri dengan sandiwara kepemimpinan yang cukup menggenaskan, pemimpin yang dulunya dielu-elukan oleh rakyat sebagai pemimpin baik dan murah hati menjadi pemimpin yang curang dan makan hati.
Bhartrihari sekali lagi mengingatkan rakyat kepada pemimpin agar selalu berhati-hati, karena pemimpin juga berfungsi sebagai politikus, yang dengan kekuasaannya bisa mengatur dan memimpin dengan berbagai cara. Seperti dikatakan oleh Sir John Dalberg Acton, bahwa kekuasaan cenderung korupsi, dan kekuasaan mutlak akan mutlak korupsi. “Sifat seorang politikus selalu berubah. Di suatu tempat berkata benar dan di tempat lain berkata bohong, kadang berbicara keras, kadang berbicara manis, kadang melakukan himsa (pembunuhan, penganiayaan), di sisi lainia memberikan pengampunan, kadang ia menyumbang, di sisi lain ia sangat serakah, kadang mengamburkan uang tanpa perhitungan, di sisi lain mengumpulkan kekayaan. Demikianlah seorang politikus selalu berubah, bagaikan seorang pelacur.” Nasihat Bhratrihari untuk pemimpin patut kita renungkan. Kita selalu mendambakan pemimpin yang mencintai rakyat, ibarat mendambakan raja domba yang mencintai dombanya, ibarat mendambakan raja ayam yang mencintai ayamnya, bukan seperti serigala yang berbulu domba, atau musang yang berbulu ayam.