Pertanian tradisional Bali zaman dulu didukung organisasi Subak memiliki keunggulan dan jauh lebih baik dengan tingkat kesuburan lahan yang lestari, mempunyai peluang berproduksi yang lebih pasti dan produk yang dihasilkan aman untuk konsumsi.
Petani di lahan basah pada umumnya selalu memelihara ternak sapi untuk membantu mengolah lahan (membajak) dan kotorannya untuk pupuk dan sebagai “tabungan” jika sewaktu-waktu mereka membutuhkan uang.
Mereka hanya mengandalkan pendapatan dari sektor pertanian dengan melakukan usaha terpadu. Selain itu memelihara sapi, ternak unggas, babi, ayam dan ikan. Semua aktivitas itu dilakukan di sawah sehingga tidak memerlukan biaya angkut kotoran hewan untuk pupuk, tutur Ir. I Gusti Ketut Riksa (78), Staf Ahli PT Songgo Langit Persada (SLP) sekaligus Instruktur Effektive Microorganisme Institut Pengembangan Sumber Daya Alam (IPSA) Bali.
Ia menuturkan, pada usia anak-anak sempat menikmati kehidupan yang tentram dan sejahtera, meski kehidupan keluarga seorang petani sangat sederhana. Pria kelahiran Buleleng, waktu itu 70 tahun silam, ibunya selalu mengumpulkan sampah-sampah rumah tangga seperti sampah dapur, sekam, abu, sisa makanan dan arang untuk dibawa ke sawah.
Sepulangnya dari sawah pada sore hari selalu membawa sayur gonde, biah-biah, serangga sawah seperti kelipes, kecucutan, belauk, belalang untuk dijadikan lauk santapan malam hari. Pertanian yang terpadu dan kehidupan yang lestari menjadikan manusia mempunyai umur panjang dan jarang menderita kesakitan. Pertanian tradisional dulu tidak terkontaminasi pencemaran, karena seluruhnya menggunakan pupuk organik, sekaligus kesuburan tanah dapat terpelihara dengan baik.
PT Songgo Langit Persada yang didirikan oleh Dr. Ir. Gede Ngurah Wididana, M.Agr merupakan satu-satunya di Indonesia yang mendapat lisensi dari penemu teknologi EM, Prof. Dr. Teruo Higa, guru besar bidang Hortikultura di Universitas Ryukyus Okinawa, Jepang. PT Songgo Langit Persada (SLP) yang mengelola sejumlah pabrik memproduksi pupuk organik padat Bokashi Kotaku, Tanah Subur dan EM4, kini pemasarannya telah menjangkau sebagian besar semua daerah di Indonesia.
Hemat Energi
Gusti Ketut Riksa menjelaskan, dengan teknologi EM dapat memelihara dan mengembalikan kesuburan tanah yang cenderung menurun 50-85 persen sejak Perang Dunia II yang dipicu oleh penggunaan pupuk kimia.
Dengan teknologi EM yang mudah, murah, hemat energi, ramah lingkungan dan berkelanjutan dapat mengembalikan kesuburan tanah dan meningkatkan produksi pertanian untuk memenuhi kebutuhan pangan dunia yang semakin meningkat.
EM melalui hasil penelitian selama 12 tahun bisa memperbaiki sifat biologis, fisik, kimia tanah, meningkatkan produksi tanaman, menjaga kestabilan produksi, menghasilkan produk pertanian berwawasan lingkungan, meningkatkan keragaman mikroba yang menguntungkan dalam tanah.
Pertanian organik yang berkelanjutan itu mampu meningkatkan ketersediaan dan senyawa organik dalam tanah, menambah bintil akar, mengurangi kebutuhan pupuk kimia dan pestisida.
Teknologi EM adalah hak paten sehingga siapapun tidak diperkenankan memproduksi, meskipun tahu cara membuat. Di Indonesia bisa membeli EM4 dari konter-konter Pak Oles, tersedia di semua toko pertanian dengan harga yang murah dan terjangkau.
Sapi Ganti Traktor
Modernisasi pertanian zaman sekarang telah mengganti sapi dengan traktor, sehingga petani sekarang tidak lagi memelihara sapi atau kerbau. Meski ada petani yang memelihara sapi atau kerbau khusus untuk penggemukan kelak akan dijual, bukan untuk membantu mengolah lahan pertanian.
Revolusi besar-besaran di sub sektor peternakan menyebabkan petani gurem kalah bersaing dengan pemodal besar di sektor peternakan. Biasanya kandang sapi di lahan persawahan berpindah-pindah sehingga pupuk kandang itu menjadi merata.
Demikian pula pemeliharaan ikan di sawah kini tinggal kenangan indah. Penggunaan pestisida selain membahayakan ikan peliharaan, karena airnya sudah tercemar, membinasakan cacing dan biota lain dalam tanah yang menjadi bahan makanan ikan. Pola memelihara ikan dengan membeli pakan tertentu lebih besar pasak daripada tiang.
Pertanian terpadu tempo dulu, menurut Riksa, sosok pria energik “diusia senjanya” selalu mengatur giliran tanaman dengan setengah tahun basah dan setengah tahun kering. Penanaman pupuk hijau selalu mereka (petani) lakukan setelah padi gadu, karena masih tesedia waktu menunggu musim tanam.
Tanaman pupuk hijau yang dikembangkan antara lain kacang-kacangan, kedelai, crotalaria, centrossema dan lainnya yang dibenamkan saat pengolahan lahan. Budaya pupuk hijau itu tidak ditemukan lagi di alam pertanian konvensional.
Demikian pula tidak ada lagi giliran tanaman. Petani cenderung menanam padi tiga kali setahun, tanpa memberi istirahat dan terus digenjot dengan pupuk kimia. Giliran tanaman merupakan aspek penting dalam keterpaduan untuk mempertahankan kesuburan tanah.