Siapa yang tahu pikiran orang, karena pikiran ada di dalam otak masing-masing orang. Kepala boleh sama berambut, tapi pikiran berbeda-beda. Manusia terus mencari tahu tentang pikiran, bagaimana cara kerjanya, apa yang dipikirkan, dan bagaimana hasil pikiran. Akhirnya ditemukanlah bahwa pikiran (mind) bekerja mempengaruhi tubuh (body), maka diperkenalkanlah istilah mindset, yang berarti pola pikir yang bisa menentukan tingkah laku dan hasil akhir dari kerja; neuroscience, ilmu syaraf dan pikiran yang menghubungkan dengan kesehatan; body language, atau bahasa tubuh, yang menghubungkan antara gerakan tubuh dengan pikiran seseorang; mind technology, yang menghubungkan antara teknik atau cara menguasai pikiran, dll.
Manusia terus berpikir, memikirkan pikirannya. Dia memikirkan pengalaman, harapan, cita-cita, dan keinginannya; dia memikirkan ketakutan, keraguan, keberanian, rencana, strategi, visi dan misi; dia memikirkan keserakahan, kebencian dan kecongkakannya; dia bisa memikirkan apa saja, sampai dia terganggu oleh pikirannya sendiri. Pikiran itu ibarat kera gila yang meloncat ke sana ke mari, dari satu titik ke titik lain, sukar dihentikan. Dia selalu bergerak, karena sifatnya suka melompat-lompat. Tapi pikiran bisa dihentikan, diistirahatkan, dijinakkan, dengan mengawasinya oleh si pemilik pikiran. Manusia sebagai tuan atas dirinya sendiri, sebagai pemilik pikiran, seharusnya bisa mengendalikan pikirannya sendiri untuk merealisasikan tujuan hidup yang diinginkannya, kalau tidak, maka hidupnya akan dikendalikan oleh pikirannya yang tidak terkendali, seperti orang mengendarai kuda binal yang tidak bisa dikendalikan dengan tali kekangnya. Hasilnya pastilah celaka.
Guru Patanjali menjelaskan tentang pikiran dan yoga. Orang yang mampu menghentikan gerakan pikiran itulah seorang pelaku yoga, atau yogi; yang dimaksud dengan yoga adalah disiplin diri. Guru Krisna menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan yoga itu adalah keseimbangan diri. Kita melihat bahwa yang dimaksud dengan disiplin adalah disiplin dengan pikiran, pikiran harus didisiplinkan, kalau tidak, maka pikiran menjadi tidak disiplin, sukar dikendalikan, suka melompat-lompat seperti kera gila. Dengan mendisiplinkan pikiran, seseorang menjadi tenang, seimbang, yaitu dengan melakukan yoga. Teknik yoga dipraktikkan dengan berbagai cara, dengan menyadari setiap gerakan tubuh, mengatur nafas perlahan, fokus pada satu objek, menghitung angka maju dan mundur, mendoakan kebahagiaan orang lain, mengembangkan cinta kasih, mengucapkan nama suci Tuhan, yang pada akhirnya dicapai suatu keadaan pikiran yang tenang dan seimbang.
Pikiran orang modern semakin liar, karena gaya hidup dan kehidupan orang modern yang materialis dan instan, ditambah lagi dengan kecepatan informasi digital yang semakin mempercepat pikiran meloncat dan berubah arah, perkataannya tidak bisa dipegang, perjanjian dan kesaksian tertulis dan yang diucapkan dibawah sumpah bisa dibatalkan, hanya untuk satu tujuan memenuhi kepuasan hidup, menghindari masalah. Keinginan manusia modern menjadi berlipat lipat. Industri, teknologi, marketing, dan jasa keuangan berlomba memeras konsumen untuk membeli dan berebut untung. Sumber daya alam dihamburkan untuk mengejar kepuasan. Bila perlu perang dan penyakit diciptakan, agar industri senjata dan obat lancar. Kesenjangan sosial dan ekonomi semakin tinggi antar bangsa dan ras. Perang, penyakit, kemiskinan, teroris, kelaparan, perdagangan obat, perdagangan manusia, kecelakaan transportasi, kerusuhan, pembunuhan, kriminal siber, semuanya itu bisa terjadi setiap menit di dunia. Hasilnya, manusia modern menjadi lemas, habis tenaganya memenuhi keinginan pikirannya. Umur manusia menjadi semakin pendek, mereka mati cepat karena penyakit, perang, kemiskinan, teroris, kecelakaan transportasi, kebanyakan makan dan setres. Manusia hidup untuk mendapatkan kebahagiaan. Tapi kebahagiaan hidup belum juga ditemukan. Kelimpahan materi dan kemudahan hidup yang dikira membahagiakan ternyata membikin nestapa. Tentu ada yang salah dalam kita menjalani hidup sebagai manusia modern. Kita lupa mendisiplinkan diri, lupa mendisiplinkan pikiran, sehingga apa yang kita ingikan dan kita pikirkan akan kita kejar dan wujudkan sesegera mungkin, lebih cepat-lebih baik, tanpa memikirkan kembali apa yang sedang kita pikirkan. Akhirnya kita hidup dalam kebingungan, merasa sepi dalam keramaian, hidup menjadi tidak berarti, karena pikiran kita berlari ke sana kemari, semakin liar, sementara kemampuan tubuh mengikuti pikiran ada batasnya, di lain pihak pikiran manusia antar generasi pun semakin berbeda, kesenjangan dan ketegangan antar bangsa dan antar generasi semakin nyata.
Setiap manusia adalah pemimpin bagi dirinya sendiri. Setiap manusia adalah pulau bagi dirinya sendiri. Hanya dia sendirilah yang mampu mengarahkan, mengawasi dan memperbaiki pikirannya sendiri. Orang lain hanya bisa memberikan masukan ide dan saran, tetapi hanya diri sendirilah yang memutuskan pikiran baik atau pikiran buruk yang menari-nari di dalam pikiran kita. Hanya kita sendirilah yang akan melaksanakan perintah dari pikiran kita sendiri, apakah pikiran itu dikerjakan atau tidak, dilanjutkan atau dihentikan. Hanya kita sendirilah yang menanggung akibat dari perbuatan yang sudah kita lakukan. Demikian kata Budha 2500 tahun yang lalu.
Tentu saja, bagi mereka yang pikirannya liar melompat ke sana ke mari, yang omongannya tidak nyambung dengan tindakannya, yang artinya, pikirannya masih suka berubah arah sesuai arah angin yang menguntungkan dirinya sendiri, mereka tidak cocok menjadi pemimpin bagi orang lain, karena mereka masih gagal dalam memimpin dirinya sendiri. Karena sifat dari pikiran juga menular dari pimpinan ke pengikut, maka pikiran pemimpin yang tenang menular ke pengikut untuk berpikir tenang. Sebaliknya, jika pemimpin berpikir kalut, maka pikiran pengikut menjadi kalut juga. Seorang pemimpin hendaknya mampu mengelola pikirannya sendiri agar tenang, fokus dan mantap, untuk kesejahteraan masyarakat.