Saya menginap di villa kebun Jnana Mudra, di desa Sepang dengan lansekap perkebunan cengkeh, kopi di daerah pegunungan yang berudara dingin. Sarapan sederhana berupa dua telur ayam kampung yang digoreng ceplok setengah matang, lima potong tahu, lima potong tempe goreng, serta secangkir kopi panas sudah cukup energi untuk mulai olah raga jalan kaki menyusuri jalan kecil di desa, semacam petualangan baru berjalan kaki di pagi hari tanpa tujuan mau kemana, hanya berjalan saja menuruti kata hati.
Saya berjalan menyusuri gang kecil beralaskan semen, yang berkelok naik- turun menembus jalan raya di atas bukit, di pertengahan jalan ada pertigaan melingkar menuju jalan raya. Tidak sampai di pertigaan jalan yang ditunjukkan oleh petani yang saya temui saat berpapasan di jalan. Saya terdiam berdiri di atas jembatan kecil yang dikelilingi rimbunan pohon bambu. Bunyi beberapa kelompok serangga di pagi hari masih berirama menyanyikan orkestra pagi, yang seharusnya sudah berhenti dinyanyikannya karena matahari sudah terbit. Tampaknya keteduhan dan kelembaban lingkungan mendukung simponi nyanyian serangga malam masih dinyanyikan dengan semangat sampai fajar menyingsing. Bunyi serangga itu mengingatkan saya di waktu kecil, saat saya pergi menyusuri jalan kecil di bawah tebing mandi di pancuran. Suaranya sangat menenangkan dan menyejukkan jiwa. Inikah yang disebut dengan sound therapy, terapi suara ultrasonik dari gesekan sayap dan kantong suara serangga?
Celoteh nyanyian burung-burung pemakan ulat dan sari bunga menghibur saya berjalan menyusuri jalan kecil naik-turun yang berkelok-kelok. Di setiap rumah yang saya lewati, jika ada orangnya mereka pasti menyapa, “Bapak mau kemana, dari mana dan mencari apa?” Pertanyaan yang biasa ditanyakan oleh orang desa di Bali sebagai pembuka kepada orang yang dianggap asing. Mereka ingin menegaskan bahwa orang yang mereka temui itu adalah orang-orang baik yang memiliki tujuan jelas, dari mana dan mau kemana. Saya memperkenalkan diri sebagai Pak Oles dan hanya berjalan-jalan di desa.
Orang-orang desa tampak sederhana dan terbuka, ramah dan apa adanya. Sampai di jalan raya saya menemui toko kecil yang menjual aneka macam sayur, tahu, tempe, telur dan ikan. Saya membelinya untuk oleh-oleh di villa, untuk makan siang, sebagai makanan sederhana dan bergizi untuk orang desa. Makan sederhana, berpikir sederhana, gaya hidup sederhana, sering berjalan kaki membuat orang-orang desa hidup sehat dan umur panjang. Orang-orang kota yang makannya berlebih, berpikir rumit dan jarang jalan kaki membuat hidupnya lemah dan tidak sehat. Orang-orang kota memiliki tulang yang rapuh, karena kelebihan berat badan dan malas bergerak badan. Pelajaran hidup sederhana tentang kesehatan saya dapatkan sehabis jalan kaki menyusuri jalan di desa: ” Hiduplah sederhana agar sehat, berpikirlah maju untuk memperbaiki kualitas hidup.”