Pandemi Covid 19 meninggalkan jejak-jejak pilu kemanusiaan, munculnya anak yatim (ditinggal mati ayah)-piatu (ditinggal mati ibu) sebelum baligh. Jumlah anak yatim-piatu selama pandemi di Indonesia belum jelas, diperkirakan ada sekitar 40 ribu anak. Dari jajak pendapat Kompas diperoleh data bahwa setengah jumlah anak kehilangan ayah dan setengahnya lagi kehilangan ibu, serta 20,5% anak kehilangan ayah dan ibu, dan 10,7% kehilangan kakek/nenek/ paman/ bibi pengasuh mereka.
Lantas, bagaimana nasib mereka selanjutnya, apakah mereka bisa makan, bisa melanjutkan sekolah, bisa menjaga kesehatannya untuk menjadi manusia dewasa yang sehat? Kalaupun mereka gagal bersekolah, atau putus sekolah, pastilah nasib mereka harus bekerja keras secara fisik untuk menyambung hidupnya, atau mereka menjadi pribadi yang sakit fisik, sakit mental, menjadi preman, atau bisa menjadi apa saja asal mereka bisa bertahan hidup.
Kalaupun mereka memiliki nasib baik, mendapat santunan, tunjangan biaya hidup, sekolah dan kesehatan, maka kemungkinan mereka bisa berhasil dan maju menjadi generasi yang lebih baik. Tanggung jawab negara untuk mendata siapa dan dimana serta bagaimana kondisi anak-anak yatim piatu yang bertebaraan di bumi Indonesia akibat badai pandemi Covid19. Dari data yang akurat tersebut bantuan dari negara bisa menjadi tepat sasaran.
Di lain pihak, perlu dihadirkan peranan swasta, yayasan, perusahaan, koperasi, lembaga-lembaga sosial, serta pribadi-pribadi yang peduli akan anak yatim piatu untuk bersatu padu membantu agar anak yatim piatu bisa tumbuh menjadi generasi baru yang berprestasi. Gerakan-gerakan sosial itu harus terus ditumbuhkan, kepedulian sosial untuk hidup dan saling menghidupi dari mereka yang beruntung kepada mereka yang kurang beruntung untuk bisa saling berbagi dan saling mengasihi, agar kehidupan bermasyarakat hidup damai dan saling mencintai dengan semangat kekeluargaan dan gotong royong, sebagai penerapan dari azas pancasila: ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial.